Powered by Blogger.

Popular Posts Today

UNIMA dan BCA Persembahkan "Wayang Kampung Sebelah"

Written By Unknown on Saturday, December 21, 2013 | 9:49 AM


Jakarta - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) memberikan dukungan pada perayaan HUT ke-4 Union Internationale de Marionnette (UNIMA) Indonesia di Gedung Pewayangan Kautaman, Taman Mini Indonesia Indah , Jakarta, Sabtu (21/12).


Acara dihadiri langsung oleh Komisaris Independen BCA, Cyrillus Harinowo, Head of CSR BCA, Sapto Rachmadi, Presiden UNIMA Indonesia, T.A Samodra Sriwidjaja, Pengurus Senawangi. Serta, para mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Jakarta.


Dalam perayaan HUT Unima Indonesia yang keempat ini juga diselenggarakan pergelaran Wayang Kampung Sebelah dengan lakon “Mawas Diri Menakar Berani” oleh dalang Ki Djlitheng Suparman dari Surakarta. Selain pertunjukan wayang, juga diadakan sarasehan dengan mengambil tema "Mengajak Generasi Muda Mencintai Kebudayaan Tradisional."


Unima Indonesia merupakan bagian dari Unima Internasional yang berkantor pusat di Charleville, Mezieres, Prancis. Sebuah organisasi bertaraf internasional yang didirikan pada  2009 oleh Senawangi dan Pepadi, organisasi nasional pemerhati perwayangan Indonesia.


Sesuai dengan tema yang dibawa, kali ini mahasiswa memang menjadi sasaran utama yang juga sebagai wakil para pemuda Indonesia yang diharapkan mampu menjaga kelestarian budaya wayang sekaligus memberikan contoh kepada seluruh masyarakat secara aktif dan berkesinambungan.


"Kami berharap melalui acara ini generasi muda dapat mulai mengenal, mencintai, dan menjaga warisan budaya Indonesia. Tidak hanya tahu tapi diam saja, mahasiswa juga harus mendukung secara nyata mulai hari ini untuk seterusnya," kata T.A Samodra Sriwidjaja, Presiden Unima Indonesia dalam sambutannya.


Dukungan BCA terhadap perwayangan Indonesia ini bukan pertama kalinya. Sebelumnya, BCA juga telah berpartisipasi dalam acara Bali Puppetry Festival & Seminar 2013 yang menghadirkan pertunjukan dari berbagai negara. BCA juga turut serta mendukung Wayang World Puppet Carnival 2013 yang merupakan festival wayang bertaraf internasional.


Dalam rangkaian acara ulang tahunnya yang ke-56, BCA telah menyelenggarakan pameran dan perlombaan fotografi bertajuk “World of Wayang 2013” yang diikuti lebih dari 700 peserta.


"BCA berharap mampu memperkenalkan wayang Indonesia kepada masyarakat luas tidak hanya masyarakat Indonesia namun juga masyarakat dunia akan potensi, keindahan dan betapa berharganya wayang sebagai warisan budaya Indonesia.” kata Cyrillus Harinowo, Komisaris Independen BCA saat ditemui Beritasatu.com.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:26 AM | 0 komentar | Read More

Nia Zulkarnaen: Anak Belajar Kerja Sama dalam Pembuatan Film

Written By Unknown on Friday, December 20, 2013 | 9:49 AM


Jakarta - Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale yang terlibat dalam proses audisi untuk pembuatan film dari Biskuat berjudul '1000 Balon', mengatakan bahwa aktifitas sangat penting untuk menumbuhkan kepedulian anak terhadap film.


"Melalui pembuatan film '1000 Balon' yang mereka kerjakan sendiri, anak-anak tentunya akan lebih menghargai sebuah karya film. Jadi, ketika nonton tidak hanya menonton saja, tetapi bisa lebih mendalami," ujar Nia di sela-sela pemutaran perdana film '1000 Balon' di Blitz Megaplex, Grand Indonesia, Jakarta, Jumat (20/12).


Selain itu, ia juga menambahkan bahwa dari membuat film, anak-anak bisa belajar kerja sama. Hal itu yang menjadi poin penting bagi Nia, agar anak bisa menghargai profesi apapun.


"Di dalam film ada kerja sama, semua unsur saling terkait dan mendukung kesuksesan film tersebut. Dengan begitu, yang menjadi artis tidak akan merasa paling penting dan juga sebaliknya. Semua sama," jelasnya.


Nia juga mengungkapkan bahwa pada proses penjurian saat audisi, kesulitannya dan tim juri lainnya temui adalah banyak anak yang lebih berminat menjadi aktris/aktor dan sutradara.


"Yang ingin menjadi penata artistik, juru kamera dan lainnya sangat sedikit," imbuhnya.


Pemilihan cerita yang berasal dari penulis cilik yang sudah menghasilkan 6 novel bernama Rattul Fitryah, dianggap sangat tepat bagi Nia.


"Cerita Ria sangat anak-anak, ada unsur petualangan dan juga persahabatan. Dan ceritanya pun masih dirasa sesuai bila dikerjakan oleh anak-anak dengan waktu singkat," terangnya.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:26 AM | 0 komentar | Read More

Dewi Perssik: Pengobatan Olga Syahputra Berbau Musyrik

Written By Unknown on Thursday, December 19, 2013 | 9:49 AM


Jakarta - Pedangdut Dewi Perssik (Depe) kembali mengeluarkan pernyataan kontroversial. Pasalnya pemilik "goyang gergaji" itu menyatakan bahwa pengobatan alternatif yang pernah didatanginya dan dijalani sahabatnya Olga Syahputra patut dipertanyakan kehalalannya. Apalagi, menurut Depe, sahabatnya Olga sembuh dengan cara yang tidak wajar.


Pasalnya belum lama ini beredar kabar bahwa penyembuhan penyakit yang diderita Olga yang berobat ke Hj Zubaedah sangat jauh dari nilai-nilai kedokteran karena menggunakan perantara telur untuk memindahkan penyakit Olga. Hal itu dikatakannya saat dikutip dari wawancara Infotaiment Selebrita Trans 7 edisi kamis (19/12).


"Saya bilang ke Olga, kok saya enggak yakin ya dengan pengobatan itu. Bisa jadi itu hanya sugesti dan tipuan jin saja. Karena kata keluarga besar saya, kalau cara pengobatannya memindahkan penyakit lewat telur, jangan. Karena itu bukan dari Allah, tapi bantuan jin," ucap Depe kala diwawancara.


Penyataan Dewi ini bukanlah sesumbar belaka, pasalnya pihak keluarganya menyatakan hal tersebut adalah musyrik karena meminta bantuan bukan sama pemilik alam semesta ini yakni Tuhan.


"Mami saya bilang, kalau pakai begitu mending saya dimasukin perut lagi. Soalnya matinya haram, musyrik. Kenapa saya bilang begitu? Karena, saya sempat datang ke sana (kepengobatan Hj Zubaredah) dan dianalisa sama beliaunya kena guna-guna, maka disarankan beliau penyelesaiannya harus melalukan media yang sama seperti penyembuhan olga yakni pakai perantara telur, dan itu yang buat saya kaget," lanjutnya.


Lebih jauh Depe juga menjelaskan kenapa dirinya akhirnya mengeluarkan penyataan ini karena menganggap akibat kedatangannya dirinya awal Desember lalu ke pengobatan tersebut banyak masyarakat yang ikut berbondong-bondong datang ke tempat itu. Padahal, menurut Depe hal itu adalah hal yang musyrik.


"Saya kemarin mau datang ke sana karena saya berpikir pengobatannya menggunakan tekhnik herbal. Tapi ternyata seperti itu. Makanya ketika saya lihat banyak yang datang ke sana karena saya merasa bertanggung jawab, jadi harus bicara ke media, biar masyarakat gak salah paham. Soalnya banyak yang datang karena lihat Dewi Perssik ke sana untuk berobat, padahal enggak sama sekali ketika saya tahu medianya seperti ini," tutup Depe.


Sementara itu, ketika sejumlah wartawan ingin meminta klarifikasi tentang penyataan Depe kepada Hj Zubaedah, ternyata yang bersangkutan belum dapat dimintai klarifikasinya.


"Umi lagi shalat, nanti telepon lagi," kata assistennya diujung telepon.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:26 AM | 0 komentar | Read More

"Kamar" dalam Bidikan Lensa Sanja Jovanovic

Written By Unknown on Wednesday, December 18, 2013 | 9:07 PM


Jakarta - Ada banyak cara yang bisa dilakukan sebagai wujud kepeduliaan pada kehidupan sosial dan kemanusiaan. Salah satunya ialah melalui aktivitas seni seperti yang dilakukan oleh Sanja Jovanovic. Sanja merupakan fotografer profesional dan juga istri dari Duta Besar Serbia untuk Indonesia dan ASEAN, Jovan Jovanovic.


Berangkat dari kepeduliannya terhadap kehidupan sosial dan kemanusiaan, ia menggelar pameran fotografi bertajuk "Kamar" di KOI Galeri Kemang, Jakarta. Pembukaan pameran dilaksanakan Rabu malam, 18 Desember 2013. Acara ini akan berlangsung sampai tanggal 7 Januari 2014 mendatang.


Karya "Kamar" disajikan dalam bentuk cetak frame dengan variasi ukuran mulai 24R. Seluruh hasil karyanya diabadikan dari bidikan lensa secara langsung di lapangan. Dalam karyanya, ia mengangkat kisah sisi lain kehidupan para pekerja yang datang dari berbagai penjuru pulau Jawa untuk mengadu nasib di Jakarta.


Saat ditanya seputar karya, Sanja mengaku itu semua merupakan kesaksiannya tentang dunia sekaligus ruang para pekerja serabutan. Terdiri dari serangkaian ruangan kecil yang terbentuk oleh konstruksi bagian dalam jembatan Kuningan, Jakarta.


"Mereka bekerja keras untuk menyambung hidup dan menafkahi keluarganya di rumah. Saya tertarik ketika melihat kehidupan yang tidak pernah saya saksikan sebelumnya setelah salah satu diantara mereka mempersilakan saya melihatnya. Mereka tidak menamai tempat tinggal itu sebagai rumah. "Ini adalah kamar," kata mereka saat saya jumpai," ujar Sanja saat ditemui Beritasatu.com di sela-sela pameran.


Menurut Sanja, kehidupan para buruh menarik karena adanya sebuah estetika dan disiplin dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang sangat sederhana. Kamar bagi Sanja, merupakan potret jujur kemanusiaan.


"Saya kagum melihat aktivitas keseharian mereka. Sangat disiplin sekali meskipun dalam kehidupan sederhana. Mereka bekerja sebagai tukang bangunan dan berkebun tapi kehidupan seperti militer. Setiap pagi mereka bangun lalu pukul 6 mandi di bawah kamar. Mereka selalu sembahyang di sebuah mushola dekat tempat tinggalnya dan pergi melakukan aktivitasnya. Meski sangat sederhana sekali, mereka menjunjung tinggi nilai itu," ujarnya.


Karya fotografi yang termasuk dalam kategori "Human Interest" ini sebelumnya pernah dipublikasikan di National Geographic Serbia pada Desember 2013 dan juga memenangkan satu ajang fotografi potrait di FotoDC di Washington D.C, Amerika Serikat. Hasil dana yang diperoleh dari pemeran ini nantinya akan digunakan untuk kegiatan sosial kemanusiaan.


Tentang Sanja Jovanovic
Sanja Jovanovic ialah seorang fotografer profesional dan juga istri dari Duta Besar Serbia untuk Indonesia. Dalam karirnya ia berfokus pada isu-isu sosial dan kemanusiaan. Ia sangat menikmati traveling dan mendokumentasikan seluruh kehidupan dari berbagai kebudayaan.


Karya-karyanya pernah dipublikasikan dalam beberapa koran dan majalah seperti National Geographic sebagai kontributor umum. Pada November 2011, karya ceritanya yang verjudul Marriage Lottery (Bracna Lutrija) diakui oleh National Geographic sebagai karya lokal terbaik di antara 40 edisi di seluruh dunia.


Penghargaan


2013 Belgrade, The portfolio winner of the 100 Best, ReFoto magazine contest, on occasion of its 100th issue


2013 Kiev, Second prize for Kamar story Golden Camera International Award


2012 Washington D.C FotoDC First prize for portrait from Kamar series


2012 Belgrade, Beta photo of the year, Grand Prix in Serbia for the photograph Mother and daughter


2011 Press photo Serbia winner for the Everyday Life story Family Matters


2010 Press Photo Serbia - Grand Prix for the photography Couple from the project Uprooter Community


2009 Ney York, En Foco - Honorable mention


2008 Press Photo Serbia Winner for Environmental Story and Everyday Pameran dan Festival


2013 Brazil, Belo Horizonte - Kamar


2013 Italy, Bari - Kamar


2012 Taiwan, Taipei - photo exhibition ‘’Witnessed of silence’’ - National 228 Memorial Museum.


2011 Belgrade and Bratislava - ‘’New Pictures of Belgrade’’


2010 France, Sarcelles, Photosoc Festival


2009 Stockholm, Applied Nostalgia


2009 Belgrade, Applied Nostalgia


2009 Amsterdam, Balkan Snapshot Film Festival


Pendidikan


2008 BA in Photography at the Faculty of Applied Arts, University of Belgrade


2010 SEE New Perspectives, Masterclass by World Press Photo in partnership with Robert Bosch Stiftung, Berlin


2011 Noor – Nikon Masterclass, Bucharest


9:07 PM | 0 komentar | Read More

"Kalaupun Dia Pindah Agama, Dia Tetap Anak Saya"


Jakarta - Rumor yang mengatakan pesinetron Asmirandah telah berpindah keyakinan, ditepis oleh pengacara dan ayah sang artis.


Afdal Zikri, pengacara Asmirandah, yang ditemui di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat, Rabu (18/12), mengatakan masalah keyakinan adalah masalah pribadi dari kliennya. Namun Afdal menegaskan kabar yang mengatakan kliennya tidak pernah pindah dari agama Islam ke Kristen.


"Mengenai isu yang menyebutkan Andah melakukan kesaksian di gereja, Andah bilang itu tidak benar. Berkaitan isu yang beredar, dengan ini Andah membantahnya," ungkap Afdal kala menyampaikan pesan Asmirandah tentang berpindah keyakinanan itu.


"Dengan tegas, Andah membantah isu tersebut dan mengingatkan bahwa masalah keyakinan adalah hak pribadi setiap orang," lanjut Afdal.


Lebih lanjut Afdal menjelaskan akibat isu yang beredar itu Asmirandah kini lebih banyak menyendiri akibat kediaman orangtuanya kerap ditunggui oleh sejumlah wartawan hiburan.


"Asmirandah saat ini memilih tinggal di Cibubur. Tapi dia tetap komunikasi sama orangtua," jelas Afdal.


Sementara itu orang tua Asmirandah mengaku pasrah bila sang putri harus memilih keyakinannya sendiri. Namun diakui sang ayah, sebenarnya orangtua Andah keberatan bila hal itu benar terjadi.


"Kalaupun dia pindah agama, dia tetap anak saya," Ayah Asmirandah, M. Farmidji Zantman saat ditemuoi dikediamannya di Depok belum lama ini.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:26 AM | 0 komentar | Read More

Pacar Baru Syahrini "Bule"

Written By Unknown on Tuesday, December 17, 2013 | 9:49 AM


Jakarta - Kebahagiaan kini tengah dirasakan penyanyi Syahrini. Pasalnya mantan teman duet Anang Hermansyah ini mengaku tidak lagi jomblo alias sudah punya kekasih, meski diakui Syahrini kekasihnya bukanlah berkewarganegaraan Indonesia. Hal itu diungkapkan Syahrini kala ditemui sejumlah media dikawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat, Selasa (17/12).


"Alhamdulillah sekarang aku dah punya pacar. Tapi bukan orang Indonesia (bukan WNI). Doakan saja semoga lancar. Ini juga berkat doanya ibu yang selalu dipanjatkannya dalam setiap doanya," ungkap pemilik jargon "sesuatu" itu.


Lebih lanjut Syahrini juga telah merencanakan malam pergantian tahun barunya besok dengan kekasihnya itu. Bahkan lebih dari itu, Syahrini juga mengungkapkan bahwa dirinya sudah mulai membicarakan hal serius untuk kelangsungan hubungannya itu.


"Kedekatan aku dengan seseorang hari ini memang juga serius, bukan lagi kayak kemarin. Kalau yang ini jalannya juga lain. Mudah-mudahan ya. Malah kita berencana menghabiskan malam tahun baru barengan," ucapnya sambil tersenyum.


Meski mengaku telah memiliki kekasih, namun dara asal Bogor itu masih enggan bercerita banyak tentang sosok kekasihnya itu.


"Sementara ini tidak mau bicara tentang pasangan. Kalau tanya siapa, doakan saja. Mudah-mudahan didoakan yang terbaik," tutup Syahrini dengan wajah sumringah.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:26 AM | 0 komentar | Read More

Aktor Peter O'Toole Meninggal Dunia pada Usia 81 Tahun

Written By Unknown on Monday, December 16, 2013 | 9:49 AM


London - Aktor asal Irlandia, Peter O'Toole, peraih Piala Oscar dalam perannya di film Lawrence of Arabia, meninggal dunia pada usia 81 di London, Inggris. Informasi meninggalnya O'Toole disampaikan agennya, Steve Kenis, Minggu (14/12).


Pria kelahiran Irlandia dengan nama lengkap Peter Seamus Lorcan O'Tole ini dikabarkan sudah menderita kanker di perut sejak 1970 lampau. Ia meninggal dunia, Sabtu (13/12) waktu setempat di rumah sakit Wellington di London. Ia sudah lama dirawat di rumah sakit itu.


Tahun lalu, O'Toole mengumumkan pengunduran dirinya dari dunia film. Tampaknya ia sudah merasakan tubuhnya makin lemah. "Ini perpisahan saya, terima kasih atas sambutannya selama ini," ujarnya.


O'Toole lahir pada tahun 1932. Ia adalah anak Jane Constance Eliot, seorang perawat Skotlandia dan Patrick Joseph O'Toole, warga negara Irlandia logam yang juga pemain sepak bola.


Pada awal kariernya, O'Toole menjadi simbol dari generasi baru Hellraiser Hollywood, pemuda yang senang minum minuman keras.


Ia meninggalkan dua putri, Pat dan Kate O'Toole, dari pernikahannya dengan aktris Siân Phillips , dan putranya Lorcan O'Toole dari hubungannya dengan Karen Brown.


Putri O'Toole, aktris Kate O'Toole mengatakan, pihak keluarga sangat menghargai dan benar-benar kewalahan oleh curahan cinta sejati dan kasih sayang yang diungkapkan ke pihak keluarga atas kepergian Peter O'Toole.


"Terima kasih untuk semuanya, dari lubuk hati kami yang paling dalam," ujarnya.


Presiden Irlandia Michael D Higgins memberi pernyataan khusus untuk meninggalnya O'Toole. Menurut dia, dunia telah kehilangan salah satu raksasa film dan teater .


"Dalam daftar panjang peran utama di panggung dan dalam film, Peter membawa standar yang luar biasa untuk menjadi seorang aktor. Dia memiliki minat yang mendalam dalam sastra terutama soneta cinta Shakespeare," ujar Higgins.


"Ia dinominasikan sebagai Aktor Terbaik untuk Oscar delapan kali, dan menerima Oscar khusus dari rekan-rekannya untuk kontribusinya film, ia sangat berkomitmen untuk dunia panggung," tambahnya.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:26 AM | 0 komentar | Read More

Penulis Komik Indonesia Diminta Terjemahkan Karyanya ke Bahasa Mandarin

Written By Unknown on Sunday, December 15, 2013 | 9:49 AM


Beijing - Duta Besar RI untuk Tiongkok merangkap Mongolia Imron Cotan "mengajak" penulis cerita silat Indonesia keturunan Tionghoa Sukawati Asmaraman alias Kho Ping Hoo ke China untuk mengalihbahasakan karyanya ke bahasa Mandarin.


"Saya penggemar komik Kho Ping Hoo, sejak sekolah dasar. Kalau membaca komiknya, rasanya tidak ingin berhenti, selalu penasaran, mungkin karena setiap karya dicetak dalam ukuran kecil, seperti 'mini iPad', jadi sayang kalau dilewatkan satu halaman" katanya di Beijing Sabtu (14/12), sebagaimana dikutip dari kantor berita Antara.


Ditemui usai peluncuran komik silat Kho Ping Hoo bertajuk "Suling Emas" versi Mandarin, ia menuturkan,"Kho Ping Hoo itu selama menuliskan karya-karya, belum pernah menginjakkan kakinya di Tiongkok, yang melatari sebagian besar cerita silatnya".


Bahkan, sebelum menjejakkan kakinya di Gunung Thaysan, di Provinsi Shandong, Tiongkok, pria kelahiran Sragen, Jawa Tengah pada 1926 itu telah melukiskan gunung itu dalam salah satu karya.


"Selama saya bertugas di sini, saya sempat melihat Thaysan. Saya teringat Kho Ping Hoo, dan seperti yang diimajinasikan Kho Ping Hoo, gunung yang tidak begitu jauh dari Beijing itu memang indah," tutur Imron yang sangat menggemari salah satu karya komik silat Kho Ping Hoo "Bu Pun Su Lu Kwan Cu" atau Pendekar Sakti.


Menggemari cerita silat Kho Ping Hoo sekaligus karier diplomatiknya sebagai duta besar untuk China merangkap Mongolia, menginspirasi Imron untuk "mengajak" Kho Ping Hoo ke China dengan menghadirkan salah satu karyanya dalam versi Mandarin.


"Ini baru tahap awal, semoga semua serial cerita silat Kho Ping Hoo dapat dialihbahasakan ke Mandarin," ujarnya.


Dengan menggandeng pengusaha Kasim Ghozali sebagai pemegang hak cipta dan penerbit, Imron pun meluncurkan 200 buku silat "Suling Emas" karya Kho Ping Hoo versi Mandarin.


Selanjutnya, akan diedarkan dalam bentuk buku elektronik. Untuk buku elektronik "Suling Emas" karya Kho Ping Hoo versi Mandarin akan beredar secara online di China mulai pertengahan Januari 2014 dengan harga 1,88 Yuan, kata Kasim.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:26 AM | 0 komentar | Read More
techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger