Powered by Blogger.

Popular Posts Today

Ian Antono Luncurkan Album Solo

Written By Unknown on Saturday, May 24, 2014 | 10:49 AM


Jakarta - Gitaris kelompok musik rock legendaris God Bless, Ian Antono melahirkan proyek solo album bertajuk "Song Book". Diakuinya, selama berkarier di musik, ia tidak pernah mendokumentasikan karya cipta dalam bentuk apapun.


Ian pun mengalami kesulitan mengingat-ingat dan mengumpulkan karya ciptanya sendiri. Hal ini lalu membuatnya memutuskan untuk membuat dokumentasi karya  dalam sebuah album musik.


"Pada Song Book I ini berisi sepuluh judul lagu. Uniknya, setiap lagu dalam album ini dinyanyikan oleh vokalis berbeda. Album ini dibuat secara sederhana, karena tujuannya pun sederhana. Ini memang babak baru karena sudah terjadi revolusi bagi industri musik Indonesia bahkan dunia," kata Ian pada peluncuran album di Rolling Stone Cafe, Jakarta, Jumat (23/5).


Menurutnya, dengan perkembangan teknologi komputerisasi yang mempengaruhi industri musik karya musik bisa semakin tenggelam. Apalagi, musik elah diciptakan puluhan tahun bisa hilang begitu saja.


Guna membangkitkan semangat musik Tanah Air, musisi kelahiran Malang, Jawa Timur, 29 Oktober 1950 itu menggandeng penyanyi yang dinilai mampu menghidupkan lagu dan karakternya kuat. Misalnya saja mantan vokalis grup band Boomerang, Roy Jeconiah.


Roy dipercaya menyanyikan lagu "Kepala Dua" ciptaan Ian Antono (dari album Gong 2000) dan "Neraka Jahanam" yang liriknya ditulis Ahmad Albar. Ian mengaku memilih Roy karena karakter suaranya yang unik dan mampu menghidupkan lagu.


Penyanyi lainnya ada Syaharani yang menyanyikan lagu “Uang” selaku single perdana. Sebelumnya lagu ini sudah lebih dulu dinyanyikan Happy Pretty dan Nicky Astria dalam balutan musik rock.


“Saya suka dengan kekuatan interpretasi Rani (panggilan akrab Syaharani), membuat saya kagum dengan cara dia menyanyikannya,” puji Ian.


Ini karena adanya paduan napas jazz dan blues yang dibalut dengan aransemen rock. Penyanyi lainnya adalah Koming Surya yang ditemukan Ian di Seminyak, Bali, yang membawakan lagu "Gersang" dan "Saksi Gitar Tua". Lalu Anindimas dengan lagu "Lari", serta Rezi Pratomo dengan "Suara Cinta" dan "Tertipu Lagi".


Nantinya, penggarapan Song Book nantinya akan menjadi proyek yang berkelanjutan. Musisi berusia 63 tahun ini juga ingin mengajak personel God Bless untuk menyanyi di album berikutnya.


”Proyek ini akan terus berkelanjutan menjadi Ian Antono Song Book I, Song Book II, III dan seterusnya dalam rentang waktu tak terbatas. Hal ini memang sudah saya rencanakan," ujarnya.


10:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




10:26 AM | 0 komentar | Read More

Keluarga Tak Mau Ungkap Keberadaan Jessica Iskandar

Written By Unknown on Friday, May 23, 2014 | 10:49 AM


Jakarta - Meski pihak keluarga presenter Jessica Iskandar telah membenarkan isu pernikahan dan kehamilan yang kini tengah dirasakan Jessica, namun mereka masih enggan menyebutkan keberadaan Jessica kini.


Bahkan pihak keluarga mengaku tidak mengetahui rencana tempat tinggal yang akan didiami oleh Jessica pascamenikah dengan pria berkebangsaan Jerman dan melahirkan nantinya.


"Ya, saya enggak tahu, apakah dia akan pindah ke Jerman atau Amerika, saya enggak tahu," ungkap Hendri, kakak Jessica Iskandar saat ditemui di kediamannya dikawasan Taman Sari, Jakarta Barat, Rabu (21/5) malam.


Lebih lanjut ditegaskan Hendri, ada kemungkinan Jessica untuk sementara tinggal di Amerika atau di Jerman saat menantikan kelahiran sang buah hatinya itu.


"Pertimbangannya, mungkin kalau anaknya lahir di sana mudah dapat citizen di sana," tuturnya.


Meski begitu Hendri enggan berbicara tentang keberadaan sang Adik saat ini karena hal itu adalah privasi pihak keluarganya.


"Sebenarnya ini adalah privasi keluarga kami. Makanya saat menikah kita enggak undang banyak orang, kalau ditanya saat ini Jessica di mana, pihak keluarga hanya bisa bilang dia tidak di Indonesia karena menunggu kelahiran anaknya di luar. Di mananya saya enggak tahu," tutupnya.


Jessica Iskandar dan Ludwig Franz Willibald Maria Joseph Leonard menikah di Gereja Yesus Sejati, Sawah Besar, Pasar Baru, Jakarta Pusat, pada tanggal 11 Desember 2013 lalu dan telah dicatatkan di Dinas Dukcapil DKI Jakarta pada 8 Januari 2014 lalu.


Dan kini presenter acara Pesbuker ANTV itu dikabarkan tengah hamil buah cinta dari pernikahannya dengan pria berkewarganegaraan Jerman.


10:49 AM | 0 komentar | Read More

Demian Sempat Ragu Nikahi Sara karena Trauma

Written By Unknown on Thursday, May 22, 2014 | 10:49 AM


Jakarta - Kegagalan saat membina rumah tangga dengan Yulia Rachman yang dirasakan Demian Aditya sempat membuat pria yang berprofesi sebagai seorang ilusionis itu trauma untuk menikah lagi.


Namun kehadiran Sara Wijayanto sebagai kekasih baru Demian mampu meruntuhkan rasa trauma yang dialami Demian. Alhasil keduanya kini resmi menikah. Hal tersebut diceritakan Demian Aditya saat menggelar konferensi pers usai menggelar acara pernikahannya di Hotel Grand Mahakam, Blok M, Jakarta Selatan, Kamis (22/5) sore.


"Sebenarnya kalau mau jujur, adalah rasa trauma (kegagalan membina rumah tangga) dalam diri aku. Namun Sara berhasil meyakinkan aku untuk menikah dengan dia dan salah satu alasan kenapa aku enggak mau gembar-gembor hubungan ini ya jadi salah satu alasan ketakutan gagal lagi. Tapi semuanya sudah kami lewati bersama," ungkap Demian.


Diakui Demian, meski telah menjalin hubungan dengan Sara, dirinya masih sempat ragu untuk menikahi Sara karena alasan trauma yang dirasakannya itu.


"Jujur awalnya saya sempat ragu bisa sampai level ini (menikah) karena rasa trauma saya terhadap pernikahan begitu besar. Namun seiring berjalannya waktu dan makin intensnya hubungan kami selama setahun ini, maka saya katakan Bismillah. Saya pun memutuskan menikah dan menjalin rumah tangga dengan Sara," lanjutnya.


Demian juga menyatakan bahwa adanya pro-kontra yang terjadi selama menjalin hubungan dengan Sara ternyata membuat mereka semakin kuat untuk bisa mewujudkan impian bersamanya itu.


"Yang jelas kami saling menguatkan dalam menjalin hubungan ini. Kalau pun sempat ada pihak yang pro dan pihak yang kontra terhadap hubungan ini itu wajar, karena kami enggak mungkin bisa kendalikan hati masing-masing orang. Intinya niatan saya baik untuk menjalin hubungan dengan dia (Sara) dan dia percaya sama saya," tuturnya.


10:49 AM | 0 komentar | Read More

Orangtua Kecewa dengan Keputusan Cerai Farah Quinn

Written By Unknown on Wednesday, May 21, 2014 | 10:49 AM


Jakarta - Perpisahan antara Farah Quinn dan suaminya Carson Quinn telah diputus oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan, membuat sedih dan kecewa orangtua sang Koki.


Hal itu diungkapkan Ibunda Farah Quin, Nyanyu Rachmawati Fawzan saat menemani sang putri di Studio Hanggar, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (21/5).


"Kalau ditanya pastilah sebagai orangtua ibu sedih, Sedih karena (rumah tangga) mereka harus berpisah, kita sebagai orangtua pinginnya selamanya. Meskipun kecewa, tapi inilah yang mereka kehendaki," tutur Ibunda Farah Quinn.


Meski mereka (Farah dan Carson) telah menceritakan semua kepada pihak keluarga, namun Nyanyu sebagai orangtua pasti telah memberikan masukan kepada keduanya meskipun akhirnya mereka berdua tak mampu pertahankan rumah tangganya itu.


"Farah dan Carson sudah cerita semua. Kita pasti sudah kasih masukan, dan berharap mereka berubah pikiran, namun semuanya sekarang sudah seperti ini, mau bagaimana lagi," tutup sang Ibunda.


Namun begitu sebagai orangtua, Ibunda Farah tetap mendoakan kebahagian sang putri meski kini statusnya sebagai janda.


"Sebagai orangtua, saya hanya bisa berdoa semoga semuanya baik-baik saja. Dan semoga dengan perpisahan ini bisa menguatkan keduanya," harap sang ibunda.


Seperti diketahui, Farah Quinn dan suaminya Carson Quinn kini telah resmi bercerai usai majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan memutuskan mengabulkan gugatan cerai yang dilayangkan oleh koki cantik asal Bandung, Jawa Barat itu, kemarin.


10:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




10:26 AM | 0 komentar | Read More

Slank Garap Lagu Ismail Marzuki yang Berumur 50 Tahun

Written By Unknown on Tuesday, May 20, 2014 | 10:49 AM


Jakarta -  Band Slank mendapat kehormatan mengaransemen dan membuat lirik lagu komposer nasional Ismail Marzuki yang belum selesai. Hal ini dilakukan dalam perayaan 100 Tahun Ismail Marzuki di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada 24 Mei 2014.


Pada tahun 1958 sebelum meninggal, sang maetro telah membuat sebuah lagu berjudul "Oh Ayah, Saya Ingin Kawin". Namun dalam prosesnya, Ismail hanya menyelesaikan notasi tanpa membuat aransemen dan syair.


"Jadi, lagu ini sudah tersimpan sejak tahun 1953. Lagu "Oh Ayah Saya Ingin Kawin" itu Ismail Marzuki yang bikin notasinya, Slank yang bikin liriknya," kata Ivanka, pemain bas Slank, yang juga mewakili grupnya terdiri dari Kaka (vokal), Bimbim (drum), Abdee (gitar), dan Ridho (gitar), usai jumpa pers 100 Tahun Ismail Marzuki di TIM Jakarta, Selasa (20/5).


Notasi lagu tersebut dipelajari Slank sebelum akhirnya Bimbim menulis liriknya. Menurut Kaka, tak ada kesulitan berarti dalam proses kreatif yang dilakukan oleh rekannya saat itu untuk mengisi kekosongan tersebut.


"Bimbim sih yang nulis liriknya, notasinya sudah ada. Lirik dan musik yang ditulis Bimbim itu disesuaikan dengan notasi yang sudah ada. Lagian, sampai sekarang masih banyak orang yang minta kawin, masih ada anak yang minta kawin ke orangtuanya," ungkap Kaka.


Diakui melodinya berbeda dari biasanya. Tapi, ia merasa Bimbim menulis liriknya sesuai dengan masa itu.


"Dari intonasi nadanya sudah gokil, itu yang memancing Bimbim bisa menulis liriknya. Sudah waktunya komposisi tersebut memiliki lirik. Ini lagu dari seseorang yang sudah tidak ada. Ini lagu tersimpan entah mau diapain, sudah setengah abad tersimpan. Sebuah karya itu akan muncul," sambung Ivanka.


Bagi Slank, membawakan lagu-lagu dari Pahlawan Nasional itu bukan suatu beban, tetapi memicunya untuk menampilkan yang terbaik. Selain membawakan "Oh Ayah, Saya Ingin Kawin", Slank juga didaulat memainkan dua lagu lain milik Ismail Marzuki, yakni Juwita Malam dan Payung Fantasi.


"Persiapan kita latihan terus saja, bareng orkestra juga. Kalau beban sih nggak ada. Tapi ini menandakan kalau seniman, juga seorang pahlawan. Musik itu adalah senjata mereka,” tegas Ivanka.


Sebagai seorang seniman, lanjut Kaka, Ismail Marzuki punya talenta yang sangat mumpuni. Terlebih karya-karya pria kelahiran 11 Mei 1914 itu banyak mempengaruhi bangsa Indonesia.


"Dia lengkap sebagai seniman, punya lagu pop untuk merayu dan banyak lagi. Ismail sebagai seorang seniman yang komplit dalam urusan musik dan lagu. Karyanya yang kita tahu, selain lagu yang dikenal di sekolahan, Ia juga ada lagu pop juga. Sebagai seniman, dia lengkap lagunya,” urai Kaka.


Menurutnya, tidak mudah untuk menjadi seorang seniman di zamannya Ismail Marzuki. Itu dikarenakan banyaknya aturan dan kekangan dari berbagai pihak agar tidak terlalu vokal menyuarakan pendapatnya.


"Slank aja muncul tahun 90an, jalannya berat. Zaman Slank masih ngalamin lirik disensor. Bagaimana tahun dia, seniman pasti sulit. Tapi lagu-lagu dan musik, itulah senjatanya untuk melakukan perlawanan," tutupnya


10:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




10:26 AM | 0 komentar | Read More

Resmi Bercerai, Daus Mini Siap "Move On"

Written By Unknown on Monday, May 19, 2014 | 10:49 AM


Depok - Majelis hakim Pengadilan Agama Depok Jawa Barat, akhirnya mengabulkan gugatan cerai Daus Mini kepada istrinya, Yunita Lestari. Dengan keluarnya keputusan ini, membuktikan bahwa kasus perceraian antara Daus Mini dan Yunita Lestari bukanlah "settingan" seperti yang selama ini beredar.


"Hasil keputusan majelis hakim ini sekaligus membantah jika perceraian ini hanya 'settingan' belaka," ungkap Yanuar Saputra, kuasa hukum Daus Mini, seusai persidangan di PA Depok, Senin (19/5)


Dalam kesempatan yang sama, komedian bertubuh mungil itu menegaskan, dirinya sekarang merasa lebih lega setelah keluarnya putusan cerai tersebut.


"Yunita sendiri tidak pernah datang (kepersidangan) sehingga hakim memustuskan untuk mengabulkan gugatan saya. Dengan putusan ini, jujur sudah hilang sedikit bebannya. Plong dan gak kepikiran kayak dulu lagi," kata Daus.


Daus sendiri mengatakan, dirinya tak lantas meratapi hasil yang sudah di putuskan hakim. "Saya tak pernah meratapi hasilnya seperti ini (bercerai). Harus 'move on' lagi dong, masa mau galau terus sih," kata Daus.


10:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




10:26 AM | 0 komentar | Read More

Rizal "Armada" Belum Bisa Lepas dari Tongkat

Written By Unknown on Sunday, May 18, 2014 | 10:49 AM


Jakarta - Ada yang berbeda dari penampilan band Armada saat tampil di acara "Gebyar Asyiiik" di Subang, Jawa Barat. Rizal, sang vokalis terlihat mengenakan tongkat dan tak lagi atraktif melompat kesana-kemari seperti biasanya.


Sebulan lalu, lutut kaki kanan Rizal rupanya sempat terkilir saat bermain futsal. Kondisinya cukup parah, sehingga memaksa ia memakai tongkat untuk membatu berjalan.


"Saran dokter sebetulnya harus istirahat total dan nggak boleh ngapa-ngapain. Tapi saya nggak mau hanya gara-gara ini (terkilir), kontrak yang sudah ada harus dibatalin. Jadi, ya gerak di panggung diminimalisir saja," kata Rizal di Subang, Sabtu (17/5) malam.


Namun bila sudah berada di atas panggung, vokalis yang sedang diisukan dekat dengan dengan Rina Nose ini mengaku sering lupa diri. "Kadang memang masih suka lompat-mompat, suka lupa sakit kalau sudah di panggung. Palingan teman-teman yang ngingetin untuk lebih berhati-hati karena sekarang tumpuannya hanya kaki kiri," imbuhnya.


Untuk mempercepat proses penyembuhan, dua kali dalam sepekan Rizal menjalani terapi akupuntur. "Sakit ini sebetulnya akumulasi dari beberapa cedera yang pernah saya alami. Enam bulan yang lalu juga pernah terkilir saat manggung di Palembang. Lalu kejadian lagi tiga bulan lalu di Medan, dan terakhir waktu futsal bulan kemarin. Tapi Alhamdulillah, kata dokter kondisinya sudah mulai membaik walaupun masih harus pakai tongkat," pungkas Rizal.


10:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




10:26 AM | 0 komentar | Read More
techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger