Powered by Blogger.

Popular Posts Today

Dewi Sandra Kini Lebih Dekat dengan Allah, Selektif Pilih Pekerjaan

Written By Unknown on Saturday, January 11, 2014 | 9:49 AM


Jakarta - Sejak memutuskan untuk berhijab, penyanyi dan aktris Dewi Sandra (33) mengaku jadi lebih selektif dalam memilih pekerjaan. Ia hanya akan menerima tawaran pekerjaan bila memang hal itu mendatangkan manfaat bagi dirinya dan juga orang lain.


"Tawaran pekerjaan memang banyak. Tapi, kembali lagi, apakah akunya siap dan cocok, atau masuk dalam koridor Islam atau tidak. Kalau tidak nyaman dan tidak kena di hati, mending gak usah. Karena aku tidak mau memaksakan diri dan menzalimi diri," kata Dewi Sandra, saat ditemui di Plaza Senayan, Jakarta, belum lama ini.


Begitu juga dengan dunia musik, diakui oleh istri Agus Rahman ini bahwa dirinya sudah tak mungkin lagi menampilkan aksi panggung dan juga jenis musik seperti saat belum berhijab.


"Musik adalah sesuatu yang sangat aku suka. Untuk kembali ke sana, tentunya aku harus siap dengan formula yang baru. Tapi aku menikmati semuanya berjalan step by step. Ambil langkah-langkah kecil dan pasti," ungkap bintang film "99 Cahaya di Langit Eropa" tersebut.


Diakui Dewi bahwa hijab memang telah membuatnya jadi semakin dekat dan mencintai Allah. "Hijab ini adalah step awal. Tapi bukan berarti dengan berhijab aku jadi baik dan sempurna. Masih banyak kekurangan, dan setiap saat harus terus dikasih asupan tentang Islam," ucapnya.


Dewi pun mengaku ikhlas bila tak bisa lagi melakukan beberapa pekerjaan yang dulunya biasa ia kerjakan. "Masalah rezeki, semuanya Allah yang mengatur. Kalaupun satu pintu rezeki tertutup, aku harus berbaik sangka bahwa Allah pasti akan membuka pintu-pintu rezeki yang lain. Dan walaupun seperti memulai lagi dari awal, tapi aku sangat menikmati hal itu," tuturnya.


Kepasrahan yang sama juga diperlihatkan Dewi, saat ditanya soal momongan yang tak kunjung datang hingga pernikahan ketiganya. "Untuk masalah itu, tidak pernah ada jawaban, karena itu semua rahasia Allah. Aku sebagai manusia hanya bisa berdoa dan berusaha," pungkasnya.



9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




9:27 AM | 0 komentar | Read More

Disetir Industri, Jay Subiakto Prihatin dengan Seniman Muda

Written By Unknown on Friday, January 10, 2014 | 9:49 AM


Jakarta - Jay Subiakto mengaku khawatir dengan seniman muda atau generasi sekarang yang selalu diatur oleh industri dalam berkarya, entah dalam musik ataupun film. Dengan banyaknya suguhan-suguhan dari industri tersebut, maka banyak karya-karya yang sebenarnya bagus tetapi tidak tereskpos.


"Saya berharap generasi muda mau mencoba untuk berpikir dan juga memiliki idealisme. Karena tidak semua yang kita lakukan untuk uang," ujarnya di sela-sela jumpa pers konser 40 Tahun Erros Djarot Berkarya di Jakarta, Jumat (10/1).


Menurutnya, generasi muda harus bisa memikirkan sesuatu yang original dan baru bila ingin menjadi berkualitas. Dengan begitu, Jay selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam pekerjaannya agar masyarakat bisa mengapresiasi yang memang patut diapresiasi.


"Orang Indonesia juga memiliki kecenderungan lebih menghargai karya orang asing. Misalnya bila musisi asing konser di sini dengan musik seadanya dan telat memulai konser, penonton mana ada yang marah-marah. Namun, bila saya yang melakukan kesalahan semua marah-marah. Padahal saya selalu total dalam menggelar konser tidak pernah setengah-setengah," keluhnya.


Dia juga mencontohkan untuk konser 40 Tahun Erros Djarot Berkarya yang sedang dia urus. Jay mengungkap tidak akan menampilkan hingar bingar yang tidak bermutu, seperti yang ada di televisi.


"Bila konser persembahan Mas Erros ini masuk televisi, pasti kita harus menampilkan artis-artis yang lagi ngetop seperti Cherrybelle, JKT 48 atau Wali. Karena televisi kita hanya mementingkan rating," imbuh Jay.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Ayu Ting Ting Tolak Enji Beri Nama Bayinya

Written By Unknown on Thursday, January 9, 2014 | 9:49 AM


Jakarta - Rupanya Ayu Ting Ting benar-benar sudah membenci suaminya, Hendri Baskoro atau yang akrab disapa Enji. Bahkan Ayu dengan tegas menolak bila Enji memberikan nama pada bayi yang dilahirkannya itu. Selain itu Ayu akan menolak kedatangan Enji bila nantinya dirinya melahirkan. Hal itu diungkapkan ayahanda Ayu Ting Ting, Abdul Rozak saat ditemui di kediamannya di Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, Kamis (9/1).


"Enggak perlu repot-repot kasih nama, nama sudah dibuatkan bundanya," ungkap Abdul Rozak.


Abdul Rozak sendiri mengaku bahwa pemilihan nama bagi bayinya itu sudah dipersiapkan Ayu sejak jauh-jauh hari dan nama yang akan diberikannya itu dianggap nama yang pas bagi cucu pertamanya itu.


"Sama Ayu sudah dipersiapkan namanya dengan matang sejak jauh-jauh hari. Namanya Islami deh, biar sifatnya bagus juga," lanjut ayahanda pelantun "Sik Asik itu."


Disinggung perihal Enji yang ingin menjenguk putrinya yang sedang diisukan melahirkan, Abdul Rozak dengan tegas menolak kedatangan Enji menjenguk putri kesayangannya itu.


"Gak usah pikirin anak ayah lagi, mending pikirin yang ada di luar sana. Anak ayah sudah sama ibunya, itu cukup bagi kami untuk menemani saat Ayu melahirkan. Dia tidak perlu memaksa-maksa ketemu Ayu, karena Ayu juga akan menolaknya," ujarnya dengan sedikit emosi.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




9:27 AM | 0 komentar | Read More

Pengadilan Agama Akan Tetap Panggil Suami Nikita Mirzani dalam Sidang Perdana

Written By Unknown on Wednesday, January 8, 2014 | 9:49 AM


Jakarta - Pengadilan Agama Jakarta Selatan sebagai lembaga peradilan yang mengurusi dan menyelesaikan perselisihan rumah tangga berencana akan memanggil suami artis Nikita Mirzani, Sajad Ukra dalam sidang perdana kasus perselisihan rumah tangga Nikita Mirzani dan Sajad Ukra.


Hal itu diungkapkan humas PA Jakarta Selatan saat ditemui dikantornya di kawasan Ragunan, Rabu (8/1). "Kami akan tetap memanggil Sajad Ukra melalui Kedutaan Singapura. Pemanggilannya itu butuh waktu dua bulan kalau di dalam negeri. Kalau di luar negeri itu butuh waktu enam bulan," ungkap Ida Noor.


Lebih lanjut dijelaskan Ida Noor, pihaknya sama sekali tidak memiliki kendala terkait rencana pemanggilan Sajad yang berkewarganegaraan Singapura dan berdarah Iran-Selandia Baru itu.


"Enggak ada kesulitan, akan sama tetap ada pemanggilan. Kalau enggak salah suaminya juga mencantumkan alamat di sini (Jakarta)," lanjutnya.


Sementara itu kuasa hukum Nikita Mirzani, Paul Sanjaya Samosir yang dihubungi wartawan, Rabu (8/1) sore mengatakan bahwa Nikita akan mencabut gugatan cerainya terhadap suaminya itu karena telah kembali harmonis.


"Awalnya memang ada rencana mau daftar (gugatan cerai), tapi harusnya belum daftar, nah ada miss jadinya daftar. Tapi dia sudah harmonis lagi kok. Tapi segera kami cabut, kalau enggak minggu ini ya minggu depan. Pokoknya sebelum jadwal sidang perdana," ungkap Paul Sanjaya.


Sebelumnya, Nikita Mirzani diketahui telah mendaftarkan gugatan cerainya ke PA Jakarta Selatan pada 24 Desember 2013 lalu dan terdaftar di PA Jakarta Selatan dengan nomor perkara 3170/Pdt.G/2013/PAJS. Direncanakan sidang perdananya akan digelar 4 Februari mendatang.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




9:26 AM | 0 komentar | Read More

Nikita Mirzani Daftarkan Gugatan Cerai ke PA Jakarta Selatan?

Written By Unknown on Tuesday, January 7, 2014 | 9:49 AM


Jakarta - Setelah berita presenter Cut Tari yang digugat cerai suaminya Johannes Jusuf Soebrata, kemudian Christy Jusung yang menggugat cerai Jay Alatas, kini selebriti Nikita Mirzani diberitakan sedang menjalani proses perceraian.


Nikita dikabarkan mendaftarkan gugatan cerai terhadap suaminya, Sajad Ukra, ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada akhir Desember 2013 lalu. Hal itu dibenarkan oleh Humas PA Jakarta Selatan, Ida Noor saat dihubungi wartawan, Selasa (7/1).


"Iya benar, Nikita telah mendaftarkan gugatan cerainya pada 24 Desember 2013 lalu dan tercatat di PA Jakarta Selatan dengan nomor perkara 3170/Pdt.G/2013/PAJS," ungkap Ida Noor.


Ida melanjutkan, sidang perdana bintang film "Nenek Gayung" itu dijadwalkan digelar awal Februari mendatang. "Sidang perdananya akan di gelar tanggal 4 Februari 2014 mendatang," ungkapnya.


Sementara itu saat diminta konfirmasinya perihal berita perceraian tersebut melalui pesan BlackBerry Messenger (BBM), Nikita membantah rumah tangganya sedang berada di ujung tanduk.


"Hahahahahaha....Sumpah Demi Allah, demi almarhumah mama saya, enggak benar itu," tulis Nikita dalam pesan singkatnya.


Nikita mengaku sedang di negeri asal suaminya, di Selandia Baru bersama suaminya. "Ini saya lagi di New Zealand sama suami saya. Sudah sepuluh hari," lanjutnya.


Acara akad nikah Nikita dan Sajad digelar di Rumah Ranadi, Jeruk Puruk, Jakarta Selatan pada 11 Oktober 2013 lalu.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




9:26 AM | 0 komentar | Read More

"Girl Rising", Kisah Remaja Perempuan di Negara Berkembang

Written By Unknown on Monday, January 6, 2014 | 9:49 AM


Jakarta - Hari ini Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) menyelenggarakan pemutaran film berjudul Girl Rising di @america Pacific Place, Jakarta. Film ini mengisahkan kondisi anak-anak perempuan yang tinggal di beberapa negara sedang berkembang.


Kumpulan kisah ini dikemas dalam bentuk film dokumenter yang disutradarai oleh Richard E. Robins dan didukung oleh Intel Corporation dan CNN Films.


Film ini juga dinaratori oleh beberapa artis Hollywood. Antara lain, Meryl Streep, Anne Hathaway, Liam Neeson, Cate Blanchett dan Selena Gomez.


"Kita harus peduli dengan kondisi perempuan karena ada seorang ahli ekonomi yang bilang kalo keberhasilan suatu negara juga ditentukan dengan kondisi perempuan dari negara tersebut," ungkap Kristen F. Bauer, Wakil Duta Besar AS untuk Indonesia pada acara diskusi dan pemutaran film dokumenter Girl Rising di Jakarta, Senin (6/1).


Kristen juga menggambarkan bahwa kondisi perempuan di dunia masih sangat memprihatinkan. Sebanyak dua pertiga penduduk di dunia yang buta huruf adalah berjenis kelamin perempuan. Dan masih banyak perempuan di dunia yang mendapat pelayanan kesehatan buruk.


"Film ini sudah diputar di beberapa negara termasuk Amerika Serikat dan mendapat sambutan yang sangat baik. Saya harap melalui film ini isu-isu kekerasan terhadap perempuan bisa berkurang," ujarnya.


Film dokumenter ini mengisahkan kehidupan seorang anak perempuan yang berasal dari sembilan negara. Yaitu Kamboja, Haiti, Nepal, Mesir, Ethiopia, India, Peru dan Afghanistan.


Diceritakan bahwa kemiskinan dan budaya di masyarakat menjadi isu utama dalam menghambat pendidikan perempuan. Perempuan di belahan-belahan dunia tersebut tidak bisa menikmati pendidikan selayaknya. Bahkan sebagian dari mereka harus rela bekerja di usia dini untuk mengalah karena orang tuanya hanya mampu menyekolahkan saudara laki-lakinya.


"Keluarga lebih memilih laki-laki yang disekolahkan, karena dianggap laki-laki bisa merantau ke kota dan bisa lebih mandiri. Selain itu, laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah yang ideal untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga," kata Michelle Bekkering, Resident Country Director, International Republican Institute (IRI).


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




9:26 AM | 0 komentar | Read More

Dalang Wayang Suket Slamet Gundono Berpulang

Written By Unknown on Sunday, January 5, 2014 | 9:49 AM


Solo - Dalang kondang wayang suket Slamet Gundono meninggal dunia pada hari Minggu (5/1) pukul 08.45 WIB di Rumah Sakit Islam Yarsis Solo, dan jenazahnya akan dimakamkan di tanah kelahirannya di Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (6/1).


Sebelum dibawa ke Slawi, jenazah dalang kelahiran 19 Juni 1966 itu akan lebih dulu disemayamkan di pendapa Taman Budaya Jawa Tengah di Kentingan Solo untuk diberikan penghormatan terakhir oleh para seniman dan budayawan dari Solo dan Yogyakarta.


Setelah selesai diberikan penghormatan dan tata cara adat jenazah Slamet Gundono yang juga terkenal sebagai dalang sintren itu pada pukul 17.00 WIB dengan kendaraan darat diberangkatkan menuju Slawi.


Seniman dan budayawan Bambang Murtiyoso mengatakan dengan meninggalnya Slamet Gundono, ia merasa kehilangan, karena almarhum mempunyai potensi yang luar biasa.


"Slamet Gundono itu memang dalang serba bisa dan mempunyai kreativitas yang luar bisa dan suaranya juga bagus," kata dosen almarhum ketika masih kuliah di Jurusan Pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI) Solo itu.


Ia mengatakan Slamet Gundono ketika kuliah memang sudah menonjol dibandingkan dengan mahasiswa lainnya, utamanya pada suaranya yang mengekspresikan nada rendah sampai tinggi.


Almarhum Slamet Gundono juga punya latar belakang teater, sehingga dalam memeragakan wayang juga bisa mengekpresikan wayang terbuat dari barang mati bisa seperti hidup. "Ini kelebihannya yang tidak semua dalang memilikinya," imbuhnya.


Pengamat budaya MT Arifin mengatakan almarhum selain menjadi dalang wayang suket juga merupakan dalang sintren yang merupakan keturunan dari kakeknya yang dulu juga merupakan dalang sintren.


"Tidak semua orang bisa melakukan dalang sintren dan almarhum Slamet Gundono merupakan tokoh di daerahnya yang sekaligus merupakan dalang sintren yang terakhir saat ini. Untuk itu wajar kalau warga daerahnya menghendaki jenazah alamarhum untuk dimakamkan di tempat kelahirannya, karena budaya sintren di sana masih kuat," kata dia.


Ia mengatakan Slamet Gundono banyak membuat kejutan dalam seni pedalangan, yakni sempat membuat kejutan pada pentas Greget Dalang di Solo beberapa tahun lalu dalang ikut menari di atas panggung.


"Seketika itu almarhum Slamet Gundono mendapat protes karena dalang yang tampil dan ikut menari di atas panggung melanggar pakem (aturan) yang ada dan untuk jalan tengahnya sekarang ini mengundang pelawak-pelawak yang menari di panggung," katanya.


Ki Mantep Sudarsono yang terkenal dengan sebutan dalang Oye juga mengakui, almarhum merupakan dalang serbabisa. "Slamet Gundono itu tidak hanya bisa mendalang dengan media wayang suket, tetapi dengan gaya lainnya juga mahir apalagi dengan gaya tradisional juga tidak kalah dengan dalang-dalang senior lainnya," katanya.


Butet Kertanegara yang membacakan biografi singkat Gundono sebelum jenazah diberangkatkan mengatakan, almarhum lulus dari ISI Surakarta tahun 1999, dengan karya-karya seninya di antaranya Wayang Suket, Wayang Lindur, Wayang Air dan bahkan dalam pentas yang sempat menjadi gempar oleh para penonton ketika membawa wayang dengan cerita "Pandawa Lima Gugur".


Almarhum dalam membawakan cerita ini yang mematikan semua Pandawa Lima mendapat protes keras dari komunitas wayang kulit. "Ya, ini kelebihan almarhum seperti ini," kata Butet sambil menambahkan bahwa dalam menggeluti karya-karya seni tradisional ini Slamet Gundono juga mendapat penghargaan dari Pemerintah Belanda dan Kementerian Pendidikan Nasional.


Almarhum meninggalkan seorang istri bernama Yuning Rejeki dan dua anak, yaitu Nandung Albert Slamet Saputra (9) dan Bening Putriaji (3,5) yang tinggal di rumahnya di Mojosongo, Solo.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK



Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta




Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:




9:26 AM | 0 komentar | Read More
techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger