Powered by Blogger.

Popular Posts Today

Sosialisasikan Pemilu, Kemkominfo Gelar Wayang Kulit

Written By Unknown on Saturday, November 16, 2013 | 9:49 AM


Cilacap - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menggelar pergelaran wayang kulit semalam suntuk untuk menyosialisasikan pelaksanaan Pemilihan Umum 2014 bagi pemilih pemula.


Pergelaran wayang kulit dengan lakon "Ampak-Ampak Pringgondani" yang dimainkan oleh dalang Ki Sutedjo Mudho Carito ini digelar di lapangan Desa Tritih Wetan, Kecamatan Jeruklegi, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu (16/11) malam.


Selain menampilkan bintang tamu pelawak kondang, Mamiek Prakoso, pergelaran wayang kulit semalam suntuk dengan tema "Wawasan Kebangsaan Bagi Pemilih Pemula" ini juga diisi dialog interaktif dengan sejumlah narasumber di antaranya Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Bidang Sosial Ekonomi dan Kebudayaan Suprawoto, anggota Komisi I DPR RI Fardan Fauzan, dan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Cilacap Indon Tjahjono.


Saat ditemui di sela-sela acara, Direktur Pengelolaan Media Publik Kemenkominfo Sadjan mengatakan bahwa pemerintah melalui Kemenkominfo telah menandatangani nota kesepahaman dengan KPU guna menyosialisasikan pelaksanaan Pemilu 2014.


"Seperti diketahui bahwa KPU merasa dukungan dari pemerintah untuk melakukan publikasi karena adanya kecenderungan angka pemilih dari 1999, 2004, dan 2009 itu cenderung menurun," kata dia yang juga Penanggung Jawab Kegiatan Sosialisasi Pemilu.


Dalam hal ini, kata dia, angka partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 sekitar 90 persen, Pemilu 2004 sekitar 80 persen, dan Pemilu 2009 sekitar 70 persen.


"Jadi, rata-rata setiap pemilu mengalami penurunan sekitar 10 persen," katanya.


Oleh karena itu, kata dia, pemerintah bersama KPU dan masyarakat berupaya keras agar pemilih pemula mempunyai tanggung jawab dan kesadaran yang bagus untuk menggunakan hak pilihnya.


"Maksudnya bertanggung jawab adalah jangan memilih karena iming-iming tertentu, tetapi dia sadar sebagai bangsa Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya dalam rangka memilih pemimpin nasional yang paling bagus," katanya.


Ia mengatakan bahwa penurunan angka pemilih ini terjadi di semua daerah kecuali dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta karena adanya fenomena Joko Widodo (Jokowi) sehingga sedikit berbeda dengan daerah lainnya.


Menurut dia, penurunan angka pemilih itu menjadi tantangan apakah sistem pemilihannya perlu menjadi perhatian semua pihak.


"Dari pihak partai juga seyogianya bisa melakukan publikasi kepada kader-kadernya untuk sadar memilih," katanya.


Lebih lanjut, Sadjan mengatakan bahwa Kemenkominfo sengaja menggunakan kesenian tradisional sebagai media sosialisasi seperti saat di Kabupaten Blora menggunakan ketoprak, Jawa Timur menggunakan ludruk.


Menurut dia, hal ini ditujukan untuk meningkatkan inisiatif pemerintah daerah untuk merevitalisasi budaya daerah agar bisa tetap bertahan.


Kendati demikian, dia mengakui generasi muda yang menjadi sasaran sosialisasi saat ini cenderung tidak menyukai kesenian tradisional seperti wayang kulit.


"Ini tantangan untuk kita semua sebagai bangsa Indonesia yang sebenarnya kaya akan budaya. Seyogianya orang-orang tua kita mempunyai teknik dan strategi untuk mengajar anak-anaknya agar cinta terhadap budaya daerah," katanya.


Selain Cilacap, kata dia, Kemenkominfo berencana menggelar kegiatan serupa sedikitnya di 10 daerah.


"Kita merencanakan akan menggelar di Lampung bekerja sama dengan GP (Gerakan Pemuda) Anshor. Kita akan menampilkan budaya Lampung," katanya.



9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:26 AM | 0 komentar | Read More

Film Versi Kedua Lebih Tampilkan Sisi Manusia Bung Karno

Written By Unknown on Friday, November 15, 2013 | 9:50 AM


Jakarta - Hanung Bramantyo mengatakan akan membuat versi kedua dari film yang menceritakan tentang sang proklamator kemerdekaan Indonesia, Bung Karno. Dikatakannya, versi kedua ini akan diikutsertakan ke festival-festival film nasional dan internasional.


Hanung mengungkapkan bahwa pembuatan versi kedua ini idenya berasal dari dirinya sendiri. Hal itu menurut Hanung, disebabkan karena ia ingin film Soekarno diterima di ruang yang lebih luas lagi.


Menurut Hanung, festival dimaksud tidak harus festival film internasional yang besar-besar, seperti Cannes atau Oscar. Yang biasa-biasa pun tidak masalah baginya.


Yang jelas menurutnya, pada versi kedua ini, dirinya ingin lebih menonjolkan sisi manusia dari Soekarno. Durasinya sendiri juga akan lebih pendek dari versi yang akan diputar di bioskop-bioskop Indonesia.


"Untuk yang versi komersil, yang akan diluncurkan pada Desember mendatang, Bung Karno akan saya tampilkan sebagai seorang pahlawan. Tapi, kalau untuk versi festival, saya akan menampilkan Bung Karno sebagai seorang lelaki yang memerdekakan Indonesia," ujar Hanung, di sela-sela jumpa pers "8th Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF)", di Jakarta, Jumat (15/11).


Hanung pun mengatakan bahwa dirinya akan menyuguhkan sisi manusia Soekarno, di mana tidak ada manusia yang sempurna. "Dua versi ini bisa memberi pandangan lebih luas tentang Soekarno. Tidak hanya dari satu sisi," lanjutnya.


Versi komersil dari film Soekarno, menurut Hanung lagi, tentu saja akan lebih memperlihatkan sosok yang sangat sempurna. Hal itu terutama karena Bapak Proklamasi itu sangat dihormati oleh seluruh masyarakat Indonesia.


"Di versi komersil, tentu kita akan mendramatisir detik-detik proklamasi, karena masyarakat Indonesia pasti mengharapkan itu. Namun untuk versi festival, tidak perlu terlalu didramatisir," ungkapnya.


Hanung sendiri mengaku sudah merencanakan untuk membawa versi komersil film Soekarno itu ke festival film Amsterdam dan Jepang, setelah diluncurkan di Indonesia bulan depan.



9:50 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:27 AM | 0 komentar | Read More

Tommy Page Menyapa Penggemar di Summarecon Mal Bekasi

Written By Unknown on Thursday, November 14, 2013 | 9:50 AM


Bekasi - Ratusan penggemar Tommy Page berteriak histeris menyambut kehadiran penyanyi berkebangsaan Amerika Serikat itu, di Summarecon Mal Bekasi (SMB), Kamis (14/11) sore.


Rangkaian konser Tommy Page bertajuk "Tommy Page Come Home", Summarecon Mal Bekasi terpilih menjadi tempat penyelenggaraan meet and greet bagi para penggemar.


Penyanyi yang menjadi icon musik pop di era 90-an ini, membawakan 3 lagu andalannya. Salah satunya, lagu yang menjadi legenda berjudul "A Shoulder to Cry On" dibawakannya dengan memainkan keyboard.


Saat membawakan lagu tersebut, penyanyi bernama lengkap Thomas Alden Page, juga dihibur oleh penampilan pesulap Denny Darko's, yang melakukan aksi melukis dengan pasir secara live.


Setelah puas menyuguhkan penampilannya di atas panggung, Tommy Page kemudian bertugas menjadi penjual tiket konsernya.


Konser Tommy Page akan digelar di Wisma Nusantara Jakarta pada Jumat (15/11) dan di Grand City Mal Surabaya pada Sabtu 17 November 2013.


"Kehadiran Tommy Page diharapkan mampu menjawab kerinduan bagi penggemarnya yang ada di wilayah Bekasi dan sekitarnya," ujar Cut Meutia selaku GM Communications Summarecon Mal Bekasi.


Bahkan, Frida (32), penggemar Tomy Page asal Ciputat-Tangerang Selatan, rela mengantri sejak pukul 10.00 WIB, agar dapat foto bareng dengan idolanya.


"Senang banget, hampir 23 tahun menunggu kehadiran Tommy Page," ujar Frida.


Dirinya mengenal Tommy Page sejak Kelas V SD. Saat itu, ketenaran Tommy Page sebanding dengan boys band, New Kids on The Block (NKOTB).


Lain halnya dengan, Megawati Burhan (38) yang menjadi penggemar Tommy Page sejak Kelas IX SMP.


"Sejak SMP Kelas 3 sudah mengidolakan Tommy Page. Awalnya, dengar lagu di Radio Prambors yang berjudul Medly In Love," ujar Megawati yang datang dari kediamannya di Depok, Jawa Barat.


Tommy Page menyempatkan diri untuk berfoto bersama penggemarnya. Mereka yang mendapatkan kesempatan itu, adalah 25 orang yang terpilih dari kegiatan program belanja di Summarecon Mal Bekasi.


9:50 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:27 AM | 0 komentar | Read More

Miley Cyrus Klaim Diri Sebagai Pejuang Feminisme

Written By Unknown on Wednesday, November 13, 2013 | 9:50 AM


Jakarta - Penyanyi dan pemain film Miley Cyrus, yang akhir-akhir menghebohkan dunia hiburan setelah tampil bugil dalam videoklip "Wrecking Ball", mengklaim dirinya sendiri sebagai pejuang hak-hak perempuan. Penyanyi Amerika Serikat berusia 20 tahun itu mengatakan ada standar ganda ketika masyarakat berbicara soal tubuh perempuan dan lelaki.


Ia mempertanyakan kenapa tidak seorang pun keberatan ketika laki-laki ke pantai bertelanjang dada, tetapi "Kenapa perempuan tidak bisa?"


"Saya merasa saya adalah salah satu pejuang feminisme di dunia karena saya mengajak para perempuan untuk tidak takut pada apa pun," kata Cyrus dalam wawancar dengan BBC Radio 1.


Perempuan yang ketika remaja terkenal dengan perannya sebagai Hannah Montana dalam serial televisi dengan judul yang sama itu memang tidak saja mengundang kritik karena tampil bugil di videoklipnya, tetapi juga karena mengisap ganja dalam ajang MTV European Music Awards di Belanda, Minggu (10/11).


"Saya tidak cemas jika apa yang saya lakukan di panggung akan membuat saya kelihatan buruk. Menurut saya orang-orang, jika mereka benar-benar mengenal saya, akan terkejut dengan betapa normalnya kehidupan saya," lanjut dia.


Akan tetapi klaim Cyrus ditolak oleh sejumlah tokoh perjuangan hak perempuan. Salah satunya adalah Cahterine Hakim yang mengatakan "sepenuhnya" setuju dengan Cyrus.


"Tidak ada perbedaan jelas antara menjadi pejuang feminisme dengan mereka membuka pakaiannya dan menjadi nyaman ketika mengumbar seksualitasnya," kata Hakim, "Dia (Cyrus) menggunakan itu (seksualitas) untuk tujuannya sendiri, dia menambah para penggemarnya, dia menghasilkan banyak uang, dia melakukan apa pun yang dia inginkan."


Tetapi Hakim menegaskan bahwa Cyrus benar ketika mengemukakan tentang "standar ganda" yang digunakan masyarakat untuk menilai tubuh lelaki dan perempuan. Hakim mencontohkan pesepak bola David Beckham yang boleh tampil nyaris telanjang untuk mempromosikan pakaian dalam.


9:50 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:26 AM | 0 komentar | Read More

KOMPAS.COM - Not Found





Harian Kompas  |  Kompas TV


Kamis, 14 November 2013










  • Channel

  • Channel








KOMPAS.com tidak dapat menampilkan link yang Anda tuju saat ini

Silakan tunggu beberapa saat lalu refresh halaman ini atau gunakan fasilitas search di bawah ini untuk mencari berita KOMPAS.com





Go
























9:14 AM | 0 komentar | Read More

KOMPAS.COM - Not Found





Harian Kompas  |  Kompas TV


Kamis, 14 November 2013










  • Channel

  • Channel








KOMPAS.com tidak dapat menampilkan link yang Anda tuju saat ini

Silakan tunggu beberapa saat lalu refresh halaman ini atau gunakan fasilitas search di bawah ini untuk mencari berita KOMPAS.com





Go
























9:08 AM | 0 komentar | Read More

KOMPAS.COM - Not Found





Harian Kompas  |  Kompas TV


Kamis, 14 November 2013










  • Channel

  • Channel








KOMPAS.com tidak dapat menampilkan link yang Anda tuju saat ini

Silakan tunggu beberapa saat lalu refresh halaman ini atau gunakan fasilitas search di bawah ini untuk mencari berita KOMPAS.com





Go
























9:05 AM | 0 komentar | Read More

Di Acara Penuh Seleb + Lady Gaga, Bintangnya Malala

Written By Unknown on Tuesday, November 12, 2013 | 9:49 AM


New York - Di sana ada seorang bintang pop flamboyan, seorang penyanyi legendaris, seorang bintang televisi, beberapa supermodel, dan salah satu pilantropis paling berkuasa sedunia. Bahkan hadir juga seorang mantan menteri luar negeri yang mungkin akan menjadi calon presiden Amerika.


Namun dari semua tokoh perempuan terkenal yang hadir dalam acara penghargaan Glamour Women of the Year Senin (11/11) malam waktu New York, tidak ada yang menerima kekaguman dan pujian melebihi gadis remaja ini, yang satu tahun lalu mungkin tidak ada yang kenal, Malala Yousafzai, 16, aktivis pendidikan asal Pakistan.


"Kami mencintaimu, Malala!" teriak sekelompok gadis dari sebuah balkon di Carnegie Hall, tempat diselenggarakannya acara itu. Malala memberi tanda kecupan jarak jauh, dan memulai pidato yang sungguh mengesankan.


"Saya percaya bahwa senjata tidak punya kekuatan sama sekali," kata Malala, yang menjadi pusat perhatian setelah militan Taliban menembak kepalanya pada Oktober 2012 karena mengkritik pemahaman kelompok itu atas Islam dalam membatasi akses pendidikan anak perempuan. Sejak itu dia menjadi tokoh global, mendirikan The Malala Fund untuk mendukung pendidikan anak gadis dan belum lama ini meluncurkan memoir "I Am Malala."


"Saya percaya bahwa senjata tidak punya kekuatan karena senjata hanya bisa membunuh,” kata dia, “namun sebuah pena bisa memberi kehidupan."


Bukan hanya penonton yang berpihak ke Malala; para penerima penghargaan juga sering mengucapkan namanya saat di panggung, dan bahkan penyanyi flamboyan Lady Gaga mengatakan harapannya agar cover majalah Glamour bulan ini yang mencantumkan fotonya bisa diganti dengan Malala.


"Jika bisa melepas cover diriku di Glamour, aku akan memberikannya pada Malala," kata dia.


Lady Gaga juga mengeluh dirinya dibuat terlalu cantik dalam cover itu.


"Aku tidak terlihat seperti itu ketika bangun tidur pagi hari," kata dia.


Penghargaaan untuk prestasi seumur hidup diberikan kepada penyanyi veteran Barbra Streisand, yang bersyukur terlahir dengan suara bagus.


"Suara itu akhirnya membuatku mampu berteriak dan pendapatku didengar," kata Streisand, 71, yang juga menyuarakan opininya soal presiden.


"Belum pernah ada presiden perempuan," kata Streisand, "namun kuharap ini segera berubah.”


Dia, tentu saja, merujuk ke mantan menlu Hillary Rodham Clinton, yang juga hadir.


Tokoh lain yang menimbulkan suasana emosional adalah Kaitlin Roig-DeBellis, guru kelas 1 sekolah dasar Sandy Hook di Newtown, Connecticut, yang menyelamatkan nyawa murid-muridnya dengan menyembunyikan mereka di kamar mandi, ketika seorang maniak melepas tembakan membabi-buta di dalam sekolah Desember 2012.


Juga mendapat penghargaan adalah Melinda Gates, istri Bill Gates, yang mendirikan yayasan Bill & Melinda Gates Foundation.


Usai acara, Lady Gaga mendekati Malala agar bisa berfoto berdua.


"Jangan pernah takut menyuarakan pikiranmu," kata penyanyi itu, yang terkenal karena melakukan persis apa yang dia katakan itu.


Supermodel Iman juga sangat tersentuh oleh pidato Malala.


"Dia mengubah kedudukan para gadis, game-changer for girls," kata Iman. "Semoga gadis-gadis muda di sini tahu lebih banyak tentang Malala, dan lebih sedikit tentang Kardashian."


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:27 AM | 0 komentar | Read More

KOMPAS.COM - Not Found





Harian Kompas  |  Kompas TV


Rabu, 13 November 2013










  • Channel

  • Channel








KOMPAS.com tidak dapat menampilkan link yang Anda tuju saat ini

Silakan tunggu beberapa saat lalu refresh halaman ini atau gunakan fasilitas search di bawah ini untuk mencari berita KOMPAS.com





Go
























9:14 AM | 0 komentar | Read More

KOMPAS.COM - Not Found





Harian Kompas  |  Kompas TV


Rabu, 13 November 2013










  • Channel

  • Channel








KOMPAS.com tidak dapat menampilkan link yang Anda tuju saat ini

Silakan tunggu beberapa saat lalu refresh halaman ini atau gunakan fasilitas search di bawah ini untuk mencari berita KOMPAS.com





Go
























9:07 AM | 0 komentar | Read More

KOMPAS.COM - Not Found





Harian Kompas  |  Kompas TV


Rabu, 13 November 2013










  • Channel

  • Channel








KOMPAS.com tidak dapat menampilkan link yang Anda tuju saat ini

Silakan tunggu beberapa saat lalu refresh halaman ini atau gunakan fasilitas search di bawah ini untuk mencari berita KOMPAS.com





Go
























9:06 AM | 0 komentar | Read More

Film NOAH "Awal Semula" Akan Tayang di Hongkong

Written By Unknown on Monday, November 11, 2013 | 9:49 AM


Jakarta - Film NOAH "Awal Semula" yang disutradarai Putrama Tuta, mulai tayang perdana di XXI Epicentrum, Jakarta, Senin (11/11) malam. Sementara penayangan serentak di bioskop seluruh Indonesia mulai 14 November 2013.


Film hasil kerjasama 700 pictures, Berlian Entertainment, dan Musica Studio's ini mengangkat kisah kebangkitan NOAH sebagai band dari keterpurukan.


Pasca ditahannya Ariel terkait kasus video asusila, grup yang digawangi oleh Ariel, Uki, Lukman, Reza dan David ini memang harus memulai kariernya kembali dari nol.


Namun, berkat kerja keras dan kecintaan mereka terhadap musik, serta dedikasi mereka kepada para penggemar yang tidak pernah berhenti, NOAH akhirnya bangkit dan meraih kembali kesuksesannya.


Dalam film ini, penonton juga bisa melihat kisah di balik keputusan bubarnya Peterpan dan kemudian mengganti nama band menjadi NOAH. Tidak hanya itu, film ini juga mengisahkan alasan keluar dua personilnya yaitu Andika dan Indra.


"Film ini tentang musik dalam bentuk dan warna yang berbeda, di mana semua orang punya kesempatan yang sama untuk bisa lebih baik dari sebelumnya. Semoga saja bisa menginspirasi banyak orang," kata Putrama Tuta di acara premier film NOAH "Awal Semula" di Jakarta, Senin (11/11) malam.


Sementara itu Ariel, vokalis NOAH, mengaku deg-degan di acara pemutaran perdana film terbarunya tersebut. "Ini pengalaman pertama NOAH main film. Kita sudah berusaha maksimal, jadi apapun hasilnya kita lihat saja nanti. Mudah-mudahan masyarakat bisa menerima karya ini dengan positif," ujar Ariel.


Selain diputar di Indonesia, film ini rencananya juga akan diputar di Hongkong. "Saat NOAH menggelar konser di 5 negara 2 benua, Hongkong adalah salah satunya. Sehingga kami berencana membawa film NOAH ini ke Hongkong pada Desember mendatang," kata Indrawati Widjaja, Direktur Musica Studio yang menanungi NOAH.


Bila menuai sukses, film ini pun rencananya akan diputar di negara lain tempat NOAH menggelar konser, yakni Australia, Malaysia, dan Singapura. "Satu-satu dulu, kita lihat nanti bagaimana respon di Hongkong," tegasnya.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:27 AM | 0 komentar | Read More

Dwayne "The Rock" Johnson Percaya Diri Jadi Pembawa Acara Reality Show

Written By Unknown on Sunday, November 10, 2013 | 9:49 AM


Dwayne The Rock Johnson kini tampil dengan aktivitas baru, yakni sebagai produser dan pembawa acara.


Waktunya kini juga tersita untuk program baru reality show yang akan tayang di saluran televisi berbayar AXN, setiap Kamis, pukul 20.00 WIB, mulai 14 November nanti, berjudul The Hero.


The Hero merupakan sebuah kompetisi pencarian bakat yang memiliki kekuatan, keberanian dan integritas luar biasa sehingga pantas menyandang gelar The Hero (sang pahlawan).


Kompetisi The Hero diikuti sembilan peserta dengan latar belakang beragam. Ada yang berprofesi sebagai instruktur kebugaran, single mother yang punya lima pekerjaan, Direktur Hubungan Masyarakat di sebuah akademi kebugaran, tukang reparasi keliling, pekerja bangunan, ibu tiga anak yang memiliki tiga pekerjaan, dokter bedah, pegulat profesional, dan polisi.


Setiap minggunya, para peserta akan diuji baik secara fisik, mental dan moral, untuk membuktikan diri mereka pantas mendapat predikat The Hero, serta meraih hadiah spektakuler. Tantangan dengan berbagai godaan akan dihadirkan di tayangan yang diharapkan dapat menghibur dan mampu membuat penonton terkagum-kagum.


The Rock tidak saja menjadi pemandu acara, tapi juga produser dan motivator untuk para pesertanya, dan para penonton akan menyaksikan apa saja cobaan yang rela dilalui, dikorbankan, dan diatasi demi diri sendiri dan orang lain. Di akhir kompetisi, penonton akan memutuskan sendiri siapa yang bisa dinobatkan sebagai The Hero.


Berikut adalah hasil wawancara lelaki bertinggi 196 cm dan berat 120 kg ini, yang dikutip dari AXN.


Bagaimana awalnya tercetus ide membuat reality show The Hero?
Saya sebenarnya sudah ingin berkreasi di layar kaca sejak lama. Tak harus harus reality show, tapi saya ingin mulai memproduksi acara televisi dan berkembang dari situ. Sampai suatu hari Ben Silverman (Produser Eksekutif The Office, The Biggest Loser) berkata pada saya: 'Saya punya acara sempurna untukmu!'. Dan itu adalah The Hero.


Menurut Anda bagaimana seseorang bisa disebut sebagai The Hero?
Mereka harus bisa mengatasi rasa takut, serta tantangan fisik dan moral. Bagian terbaiknya saat para peserta dihadapkan dengan tes moral apakah mereka akan menerima godaan uang yang ditawarkan. Kalau mereka mengambilnya, mereka diberi kesempatan untuk menyampaikan secara intim kepada seluruh masyarakat Amerika mengapa mereka melakukannya. Dan saat itulah terlihat pribadi asli mereka.


Apakah Anda merasa para peserta The Hero adalah orang-orang yang terpilih dengan tepat?
Saya bangga kami punya orang-orang baik dan hebat yang mewakili Amerika di setiap sisinya karena mereka sangat beragam.


Apa saja peran Anda di sini?
Selain sebagai kreator, saya juga bertindak sebagai pembawa acara. Bukan cuma sekadar pembawa acara karena banyak orang berprofesi di luar sana seperti Ryan Seacrest (American Idol, American Top 40, The NBC Saturday Nigth Movie), tapi saya ingin juga menjadi mentor dan motivator yang berhubungan dengan para peserta dengan lebih intim dimana tak ada pembawa acara lain yang melakukannya. Kala mereka (peserta) sukses, rasanya menyenangkan karena saya ikut memberikan motivasi. Namun saat mereka gagal, saya juga akan selalu ada di samping mereka. Bukan untuk memanjakan, tapi untuk menyemangati agar mereka bangkit kembali.


Anda menikmati peran di sini?
Tentu! Ini merupakan platform baru buat saya menjadi pembawa acara, mentor, dan produser dengan sekaligus. Sangat menyenangkan bisa mengeksplor sisi terbaik setiap orang dan menyemangati mereka menyelesaikan setiap tantangan dan ketakutan yang selama ini membelenggu. Dan meski saya dekat dan menyayangi mereka, saya mencoba untuk senetral mungkin dengan porsi seimbang antara angel dan devil.


Dalam program ini, pemenang akan dipilih langsung oleh masyarakat. Bagaimana pandangan mereka menurut Anda?
Fakta itu juga yang membuat peran saya sangat penting untuk menjadi netral. Saya akan memberi porsi sama pada tiap peserta dan berdialog dengan mereka sehingga tiap isu atau masalah yang timbul bisa terwakili dari semua sisi. Bukan hanya dari satu pihak saja. Meski nantinya kemungkinan penilaian publik pun berbeda-beda.


Melihat semua tantangan yang diberikan di The Hero, jika menjadi peserta bisakah Anda menyelesaikan semuanya?
Saya memberi mereka tantangan yang sulit setiap episodenya. Itu salah satu aspek penting saat para produser membahas ide awal program ini. Dan adanya tantangan-tantangan seru itu yang membuat saya mau terlibat. Bukan maksudnya saya bisa menyelesaikan semua tantangan yang saya buat, saya pun bertanya pada diri sendiri: "Bisakah saya menyelesaikannya?"


Menjadi atlet, aktor, dan sekarang pembawa acara sekaligus produser, apakah Anda tak merasa berat menjalani semuanya?
Pastinya berat, tapi saya tak pernah berpikir: "Oh ini sungguh berat, saya tak bisa melakukannya". Tapi karena memang saya yang memilih mengerjakan banyak pekerjaan sekaligus, maka saya menikmati setiap tantangannya. Saya juga senang menghibur orang baik melalui film, acara televisi, dan bahkan pertandingan gulat. Tak semuanya berhasil, ada juga kalanya saya gagal, tapi tak masalah selama saya sudah bekerja keras mencurahkan seluruh kemampuan saya.


9:49 AM | 0 komentar | Read More

Perppu Kegentingan MK






Oleh Mohammad Fajrul Falaakh

DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.


Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.


Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.


Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).


Perekrutan

Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.


Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.

Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.

Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.


Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.


Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.

Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.


Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.


Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.


Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.


Revisi UU

Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.


Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.


MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.


Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.


Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.


Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.


Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta





Editor : Tri Wahono


















9:26 AM | 0 komentar | Read More
techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger